Pada pameran Keramika, Megabuild Indonesia, dan Jakarta Design Week 2016 yang lalu, terkuak fakta bahwa Indonesia saat ini merupakan negara produsen keramik terbesar ke-6 di dunia.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Elisa Sinaga, posisi tersebut merosot dua tingkat dari sebelumnya ke-4 dunia pada tahun 2015.
“Sementara lima besar dunia adalah China, India, Brasil, Spanyol, dan Iran,” ujar Elisa di Jakarta.
Elisa melanjutkan, merosotnya peringkat Indonesia ini tak lain karena kapasitas terpasang atau installed capacity keramik tahun 2016 hanya 440 juta meter persegi. Sementara tahun 2015 lalu, industri keramik Indonesia masih sanggup memproduksi 550 juta meter persegi.
Penurunan kapasitas produksi tersebut, kata Elisa, dipicu oleh turunnya tingkat konsumsi keramik masyarakat Indonesia yang sebelumnya 2 meter persegi per kapita menjadi 1,8 meter persegi per kapita.
Kendati demikian, Elisa berharap, kondisi industri keramik akan tumbuh lebih baik. Pasalnya, potensinya luar biasa besar seiring rencana pemerintah membangun infrastruktur jalan, bendungan, pelabuhan, dan perumahan yang diprediksi menelan biaya lebih dari Rp 5.000 Triliun.
Hal senada dikemukakan Direktur Jenderal Bina Kelembagaan dan Sumber Daya Jasa Konstruksi Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan perumahan Rakyat (PUPR) Kimron Manik.
Menurut dia, “industri keramik terkait erat dengan konstruksi terutama sektor perumahan dan infrastruktur prioritas karena kemajuan teknologi keramik seiring dengan kemajuan teknologi keduanya. Konstruksi penting di Indonesia karena melibatkan banyak pihak mulai dari produsen konstruksi, peralatan konstruksi, material bangunan. Karena itu, diperlukan komitmen kuat untuk Indonesia terus tumbuh dan berkembang,” tambah Kimron.
Terganjal harga gas
Salah satu kendala terbesar terhambatnya pertumbuhan industri keramik dalam dua tahun terakhir, kata Elisa, adalah harga gas dan tarif listrik yang tidak kompetitif.
“Padahal penggunaan gas dan listrik itu menelan 35 persen ongkos produksi keramik. Ini sangat berat,” ungkap Elisa.
Karena itu, Asaki berharap pemerintah segera merealisasikan deregulasi kebijakan dalam Paket Ekonomi III yakni menurunkan harga gas dan tarif listrik untuk industri.
Sebagaimana diketahui, dalam paket ekonomi tersebut pemerintah telah menetapkan harga gas untuk pabrik dari lapangan gas sesuai dengan kemampuan daya beli industri pupuk yakni sebesar 7 dollar AS million metric british thermal unit (MMBTU).
Sementara harga gas untuk industri lainnya (seperti petrokimia dan keramik) akan diturunkan sesuai dengan kemampuan industri masing-masing. Penurunan harga gas dimungkinkan dengan melakukan efisiensi pada sistem distribusi gas serta pengurangan penerimaan negara atau PNBP gas.
“Penurunan harga gas untuk industri tersebut seharusnya berlaku efektif mulai 1 Januari 2016. Namun sampai saat ini belum terlaksana,” timpal Wakil Ketua Umum Asaki Edy Suyanto.
Demikian halnya dengan tarif listrik untuk pelanggan industri I3 dan I4 yang seharusnya juga turun mengikuti merosotnya harga minyak bumi (automatic tariff adjustment).
Tetapi, pada kenyataannya harga gas dan tarif listrik masih bertengger di posisi normal. Khusus untuk gas, saat ini harganya masih 9 dollar AS.
“Idealnya harga gas itu memang 7 dollar AS seperti yang ditawarkan pemerintah dalam Paket Ekonomi III,” imbuh Edy.
Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian, Harjanto, berharap pemerintah dalam hal ini Kemenetrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan terus mendorong pasokan gas dan melakukan penyesuaian harga.
“Itu memang domain Kementerian ESDM. Namun, kami berharap semoga pasokan gas akan terus lancar dan harga juga bisa disesuaikan dengan kebutuhan para pelaku industri,” cetus Hardjanto.